Gossip

Aku nggak tahu harus gimana sebaiknya menyikapi sebuah gosip. Memang menyakitkan hati ketika kita digosipkan. Mending kalau gosipnya yang enak-enak, kalau yang merendahkan ditambah bumbu fitnah, itu dia yang membuat serba gak enak. Anehnya walaupun sudah tahu dan yakin aku nggak salah, tetap saja aku merasa gak enak.

Kejadian itu menimpa my Mom, yang harus berjibaku hampir tiap minggu dalam dua bulan terakhir ini dengan yang namanya gosip di lingkungan rumah. Bermula dari kejadian batalnya aku beli rumah karena keduluan tetangga yang berani menawar lebih tinggi kepada pihak penawar. Fair saja sebenarnya bahwa yang lebih tinggi akan mengalahkan tawaran yang lebih rendah. Tapi Mom merasa tetangga tadi mendahului “hak”-nya. Jadilah, si tetangga tadi merasa gak enak hati. Dan kami sekeluarga juga jadi gak enak hati dengan tetangga tersebut. Tiap kali aku ke mesjid untuk sholat maghrib dan Isak, karena pasti melewati depan rumahnya, aku selalu saja merasa gak enak hati. Aduh…kenapa harus jadi begini.

Terakhir ini ada gosip Mom dibilang iri dengan tetangga itu karena salah satu menantunya memiliki mobil baru. Astagghfirullah, ada apa lagi ini. Aku nggak tahu apakah Mom pernah omong-omong tentang mobil ini kepada seseorang, yang entah ditambah dengan bumbu-bumbu apa, terus menyebar kemana-mana. Nggak tahu ujung pangkalnya kemana, ada salah seorang pembantu yang ikut-ikutan kena getah, tapi dia ikut melawan juga karena merasa tidak bersalah (mungkin). Mom resah, adikku ikutan gelisah, aku juga gak mungkin gak ikutan prihatin.

Kenapa tidak ada yang mau mengalah, terlepas apakah kita berada di posisi (yang menurut kita) benar, apalagi salah. Toh semua juga tidak bisa digeneralisir putih hitam begitu saja, karena selalu saja ada abu-abunya, tergantung ingatan pelaku, unsur dramatisasi, bahasa, salah tafsir, dan yang pasti adalah perasaan yang jelas sangat subyektif sifatnya. Jadi kesimpulan sederhananya, apapun yang dilakukan manusia, pasti akan ada saja kejadian terpeleset, entah karena tidak sengaja, atau karena sengaja, atau karena pengaruh pihak ketiga, keempat, dst.

Makanya aku bilang ama wife agar kita mengutamakan mengalah saja. Aku mungkin agak “beruntung” karena punya sifat penakut dengan orang plus nggak mau pusing mikirin urusan yang menurutku gak penting. Makanya dulu waktu tanpa sengaja bertabrakan antar sepeda motor yang kukendarai dengan seorang pengendara lainnya, langsung saja aku bayar. Selesai. Malas aku untuk berargumentasi lagi, toh orangnya juga udah siap ngotot.

Dan kejadian-kejadian itu memang harus ada yang mengalah, kita atau sia dia, atau kita bersama. Karena jika tidak ada yang mau mengalah, ya nggak akan selesai persoalannya. Mengalah saja belum tentu bisa selesai sama sekali, tapi setidaknya kita sudah bisa membuat Tuhan tersenyum pada kita karena mengalah adalah menunjukkan bahwa kita memaklumi kelemahan manusia ciptaanNya.

Aku jadi berfikir memang sebaiknya kita gak banyak omong dan gak usah banyak bersikap yang tidak perlu. Karena bagaimanapun hati-hatinya kita bersikap, pasti saja ada kesalahan yang muncul, itu sudah hukum alamnya.

BTW, hari ini aku UAS hari terakhir (menurut jadwal), yaitu ujian IP Network-nya pak AGV. Ternyata di luar dugaan, soal-soalnya seputar pendapat saja. Ya ngarang aja jadinya, seperti sebagian besar pelajaran semester ini. Malas juga sebenarnya mengerjakan soal seperti itu, tapi ya daripada soalnya susah, mendingan yang seperti itu saja lah. Cari aman saja, walau dalam hati ini idealisme agak memberontak juga.

0 komentar: