Mbah Ngadino nan bersahaja

Kulon Progo, di hari Sabtu itu usai kami semalam berjibaku di Jogja mencari penginapan, kami pagi langsung tancap gas menuju Kulon Progo, tepatnya ke desa tempat Nenek tercinta kami Mbah Ngadirah dillahirkan dan dibesarkan sampai usia 8 tahunan. 

Aku begitu motivated banget, ingin segera menikmati keharuan dan nostalgia “samar-samar” ku karena sudah 35 tahun aku tidak ke tempat itu lagi. Terakhir ku ke sana pada tahun 1974-an dan samar-samar memang aku ingat suatu jembatan maha besar dengan sungai di bawahnya yang juga tidak kalah sangar. Ternyata memori dalamku sempat merekamnya dengan baik.

Hm, perjalanan akhirnya sampai ke Srandakan, kota kecil dekat jembatan Kulon Progo, sebelum kami siap-siap melintasinya. Berhubung di seberang jembatan itu sudah masuk wilayah desa, kami perkirakan lebih mudah jika cari oleh-oleh di Srandakan saja, buat keluarga besar yang akan kami kunjungi. Ya, walaupun dapatnya hanya kue-kue kering dan air mineral ukuran gelas saja. Kata Ibu biar nggak ngerepotin keluarga di sana, ya kita beli air mineral saja sendiri.


Akhirnya kami menyebarangi jembatan itu. Angin agak terasa galak ketika aku sengaja membuka jendela mobil. Wah, angin ini sempat “dibangga-banggain” Mom and Dad waktu cerita sebelum kami berangkat.

Karena sudah pada kelaparan semua, ya kami sempatkan sarapan dulu di warung soto. Lumayan, ada bakso dan mie-nya segala. Bersih dan penjualnya ramah tamah, dan ya Letto alias jawa semua pastinya. Tapi ada satu hal menarik yang aku perhatikan. Ada kurungan burung (dan burungnya) dengan jarak semeter di atas gelas-gelas yang disiapkan untuk minuman sang pembeli. Sebagian gelas sudah diisi dengan the, sehingga jika ada yang memesan minuman itu, tinggal ditambahkan air panasnya saja. Nah lo, kalau itu burung pipis atau BAB, dan angin lagi kenceng dan arahnya pas…percikannya bisa masuk ke gelas itu tanpa permisi.

Kenyang sudah, dan si giant Dian Alhamdullillah doyan juga. Makanannya lumayan enak lah, plus lagi kita sudah pada lapar semua. Plus incident kecil si giant tanpa sengaja menumpahkan semangkuk nasi. Lumayan keriting juga itu tangan sih !
Akhirnya hunting dimulai, karena Mom lupa rumah itu dulu dimana, padahal baru sekitar 3 tahun lalu. Tadinya aku agak heran, tapi begitu lihat medannya, wah maklum juga. Kelihatannya itu rumah-rumah pada sama semua, walau kalau diamati memang beda tentunya. Ya akhirnya daripada sesat di jalan, ya kami malu-maluin bertanya saja pada orang-orang yang sempat kami lihat. Dan setengah jam kemudian, sampailah ke rumah Mbah Ngadino, adik Mbah Ngadirah, nenek kami. Jadi sebutannya mungkin Mbahlek Ngadino kali ya.


Rumah itu kecil, dan sempat benar-benar membuat Mom kaget, pasalnya tidak menyangka kok jadi menciut seperti itu. Barulah kami sadari, ternyata rumah yang sekian tahu dilihat Mom sudah rata dengan tanah akibat gempa besar di Jogja beberapa tahun silam. Astaghfirullah. Kami baru sadari itu semua. Aku hanya terdiam tersipu malu karena kebodohan itu. Pada saat itu terjadi, bahkan Dad pun tidak menyadarinya. Dan tragisnya, desa Brosot ini adalah salah satu desa terparah yang menjadi korban keganasan gempa itu.


Akhirnya kami terlibat percakapan yang penuh dengan nostalgia. Sedihnya, Mbah Ngadino sudah sangat tua, pendengaran sudah tidak seberapa peka lagi. Mbah putrinya juga sudah sakit-sakitan tujuh bulan ini. Kasihan sekali nasib keduanya. Anak-anaknyapun kulihat tidak bisa diharapkan banyak untuk bisa menjaga dalam kondisi seperti kebanyakan orang merawat orang sakit. Mbah, maafkan kami semua. 


Di kamar tidur Mbah putri yang tidak seberapa itupun hanya terlihat sebungkus lontong. Hanya lontong saja, tidak ada lainnya. Aku sempatkan mengintip apa yang ada di meja makan mereka di belakang pintu, hmm aku hanya bisa menghela nafas, hanya bacem tempe dan nasi saja, itupun sudah dingin kena angin.


Betapa sederhananya mereka. Betapa aku sangat terpukul dengan ini semua. Sekolah tinggi-tinggi tidak mampu berbuat apa-apa. Pengetahuan yang kadang terasa sudah cukup banyak pun tidak mampu memberi arti apapun pada keluarga sendiri. Sok kota, padahal dari tanah inilah aku akhirnya dilahirkan. Aku tidak bisa berkata apa-apa. Lidahku kelu.


Kami sempat nikmati segarnya air sumur milik Mbah, dengan menimba dulu. Kenangan dulu saat SD, saat aku punya sumur di rumah kami saat kami tinggal di Jember, sempat membantu Mom menimba airnya, dan itu sungguh menyentuh batinku. Si Dian ikutan mencoba, wah…kaku banget ini gadis bandung. But, kami sempat tertawa-tawa melihatnya.


Kusempatkan pula menengok kandang kambing, sapi dan pura-pura naik pohon kelapa milik Mbah, sekedar bergaya untuk difoto. Ulah kekanakan, tapi itu mereka semua tidak tahu, sekali lagi, itu sangat berarti bagiku, mengingatkanku dulu waktu bolos kegiatan pramuka saat masih di SD Jember Lor IX, malah main ke kebon orang, naik pohon kelapa. Begitu sampai di atas, eh…teman-teman pramukaku lewat, langsung deh, aku geser-geser badanku agar batang pohonnya menutupi badanku. Dan akhirnya waktu itu badan merah semua, gara-gara tidak bisa turun, hanya berpegangan memeluk batang pohonnya, untuk kemudian sedikit demi sedikit merenggangkan pelukan setahap demi setahap sampai badan mencapai tanah. Bisa naik tapi gak bisa turun.

Sempat Mom bertemu secara tidak terduga dengan teman mainnya dulu waktu kecil, yang kini tinggal di Surabaya. Saat itu kebetulan dia juga pulang menengok keluarganya di Brosot. Seru juga mendengar cerita-cerita mereka. Anehnya Mom sangat rinci bercerita tentang teman-teman maennya waktu itu, padahal waktu itu mungkin antara tahun 65 sampai menjelang Mom kawin ama Dad.


Tiba saatnya kami pamitan, setelah lebih dari tiga jam kami di sana. Plan mau ke sawah, mau naik sapi, mau naik pohon dan segala macam keinginan yang berbau desa, tidak kesampaian. Ternyata Mbah sudah tidak mampu lagi melakukan sebagian besar kerjanya dulu. Padahal saat masih sanggup, Mbah melakukan banyak hal, dari mulai ngarit (cari rumput sapi dan kambing), bersawah, membuat gula merah, dan menukang. 


Kami sempat titipkan bebepa lembar uang buat mereka, tapi itu tidak seberapa, dan mungkin hanya mampu membuat sedikit senyuman saja pada hari itu, untuk kemudian besok mengalammi hari-hari yang biasa lagi, hari-hari keprihatinan. Aku berdoa semoga anak-anak Mbah Ngadino, yang katanya ada enam dan semuanya ada di desa itu, bisa menjaga baik-baik si Mbah. Dan tentu saja harapan terbesarku adalah sang Raja di Raja Penguasa Alam Jagad Raya ini, Allahuakbar, yang mudah-mudahan akan melindungi kedua Mbah-ku itu, memberi rejeki, kesabaran dan kelapangan untuk mengarungi sisa hidup mereka. Amin. Allah yang Maha Pengasih, kutitipkan si Mbah pada-Mu. 



0 komentar: