Bisnis vs Nurani

Kemarin saya kedatangan teman. Awalnya sih agak surprise juga, ini teman kok baek banget mau “jauh-jauh” ke rumah saya. Hm, ternyata dia menawarkan produk MLM nya. Wah! Kalau sudah begini, saya nggak bisa banyak komen deh. Saya beli saja satu produknya. Hitung-hitung amal pada teman dan sesekali mengingatkan saya kepada kesehatan, yang kata artikel (yang dulu pernah saya baca) perlu dimasukkan sebagai “investasi”. emangnya bisa dipanen pada saat tua nanti ? He..he..nggak gitulah, maksudnya kita harus menjaga kesehatan seperti kita memperlakukan suatu aset investasi. Begitulah kurang lebihnya (banyak kurangnya kali ye).

Saya sungguh salut dengan teman satu ini, yang memang sudah lama nggak jumpa. Tadinya saya berniat mau bernostalgia sedikit, tapi ternyata jadi “dikacaukan” dengan urusan bisnis. Semangat bisnis yang menyala-nyala tampak jelas dari mata dan segala pidatonya. Wah, saya jadi sedih juga kok kini duit jadi tujuan utama ya? Walaupun saya yakin teman satu ini tidak begitu-begitu amat. Teringat waktu di Makassar dulu sempat pula bertemu teman yang mirip dengan yang ini. Tadinya senang bisa bertemu dia, eh…dua minggu setelah itu saya jadi selalu saja menghindar bila bertemu dengannya. Apa sebab? Bisa ditebak, tiap kali ketemu, omongannya selalu soal ajakan berbisnis, minimal membeli produk yang dibawanya.

Sesekali diberikannya petuah tentang perlunya komunikasi. Jika ada oranng tidak dikenal dalam jarak 2 meter dari kita, wajib dalam 20 detik kita harus sudah mengenalnya, bahkan mendapat nomor HP nya. Hebat nian.

Saya tahu lah, paham lah, ada positifnya menjadi orang seperti ini. Kaya di akhirnya, ya…kemungkinan itu lebih besar dibandingkan saya yang cenderung “setia pada perusahaan”, begini begini saja. Tapi ya kok saya merasa agak berlebihan jadinya. Mereka tanpa sadar telah memainkan perasaan saya mengaduk-aduk perasaan saya, sehingga saya terjepit dan nggak bisa menolak ajakan untuk membeli produk mereka. Kalau waktu itu saya terus tunggu terus tanpa ada komentar mau beli, pasti mereka nggak pulang-pulang deh.

Inilah pengaruh ekonomi kapital, perhitungan ekonomi mengalahkan segalanya. Kehalusan budi pekerti pun mengalah di nomor tiga belas. Saya tidak mengatakan mereka kejam atau tak tahu diri, sama sekali tidak begitu. Saya hanya tidak setuju caranya. Semoga saja mereka memperoleh rejeki yang bersumber dari keikhlasan, bukan semata “based on” belas kasihan atau tidak enak hati yang dirasakan teman atau partner mereka.

Saya tahu lah, bahwa nanti mereka kemungkinan besar lebih kaya dari saya. Biar saja begitu. Emangnya kenapa kalau saya tidak kaya? Saya tidak akan mengubah hati saya menjadi sekeras hati mereka. Saya nggak munafik lah, mau juga jadi kaya. Tapi saya kok tetap saja tidak terima metode yang mereka pakai. Itu saja. Semoga Allah memberi petunjukNya pada kita semua, jika saya salah mohon saya diberi petunjuk. Amin.

0 komentar: